Sabtu, 04 Februari 2012

Konsep Kerajaan Jawa Kuno

Kerajaan adalah sistem pemerintahan yang dikepalai oleh raja (Cahyono, 2006: 11). Selain menunjuk arti kepada sistem pemerintahan yang berbentuk monarkhi, kata ”kerajaan” atau ”karajyan” acapkali dipakai untuk menyebutkan tempat kediaman raja, yang dalam bahasa sanskreta dinamakan ”rajyā”. 

Soebantardjo (1960) dalam Soepratignyo (1988: 9), mengemukakan syarat mutlak bagi tumbuhnya suatu negara atau kerajaan, yaitu adanya konsentrasi penduduk yang berjumlah besar. Hal ini hanya dapat terlaksana jika dalam suatu daerah terdapat cukup bahan makanan yang menjamin kelangsungan hidup penduduknya. Oleh karena itu, daerah tersebut haruslah merupakan daerah yang subur. Tanpa kesuburan daerah, maka bahan makan menjadi kurang, sehingga tidak terdapat konsentrasi penduduk di situ. Alhasil tidak akan terbentuk suatu nagara atau kerajaan. 

Masyarakat Hindu-Budha memiliki kepercayaan tentang kesejajaran antara makro dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia manusia. Kemanusiaan senantiasa berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang bersumber pada penjuru mata angin, bintang-bintang dan planet-planet. Tenaga-tenaga tersebut mungkin menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan. Atau dapat juga membuat kehancuran, bergantung pada dapat atau tidaknya masyarakat bersangkutan, utamanya pihak kerajaan, untuk menyelaraskan kehidupan dan kegiatan mereka dengan jagad raya. Keselarasan antara kerajaan dan jagad raya dapat dicapai dengan menyusun kerajaan itu sebagai gambaran dari jagad raya, tepatnya sebagai sebuah jagad raya dalam bentuk kecil (Heine-Geldern, 1982: 2).

Kepercayaan Brahma (Brahmanisme) melihat bahwa jagad ini terdiri dari Jambudwipa. Sebuah benua yang berbentuk lingkaran dan terletak di pusat, di kelilingi oleh tujuh buah samudera berbentuk cincin dan tujuh buah benua lain berbentuk cincin juga. Di tengah-tengah Jambudwipa berdirilah Gunung Meru, yaitu gunung kosmis yang diedari matahari, bulan dan bintang-bintang. Pada puncaknya terletak kota para dewa, yang dikelilingi oleh tempat-tempat tinggal dari delapan lokapala atau dewa-dewa penjaga jagad. Konsep ini memiliki kesamaan pula dengan kepercayaan kosmologi Budhisme. Oleh sebab itu, gambaran konsepsi tersebut mempunyai pengertian simbolis yang sama bagi pengikut-pengikut setia dari kedua macam kepercayaan itu (Heine-Geldern, 1982: 4-6). 

Upaya penyelarasan konsep tentang jagad raya pada masyarakat Hindu-Budha menghadirkan wujud dalam bentuk nyata. Dalam hal ini, arsitektur kerajaan merupakan contoh tentang penyelarasan antara dunia makro dengan mikrokosmos. Ibukota kerajaan merupakan lambang Meru. Jadi, selain sebagai pusat politis dan kebudayaan, ibukota kerajaan juga sebagai pusat magis dari kerajaan.

Konsep kosmologi Hindu tampaknya juga melandasi struktur kerajaan-kerajaan di Jawa kuno. Salah satu diantaranya adalah pada Kerajaan Mataram Kuno. Bukti pada Prasasti Canggal (732 M) menguraikan bahwa Sanjaya selama memerintah di dunia berikat pinggangkan samudera dan berdada gunung-gunung, ia telah menaklukkan raja tetangga yang mengelilinginya, sehingga rakyatnya merasa aman. Keterangan tentang ”berikat pinggang samudera” dan ”berdada gunung-gunung” mengingatkan tentang konsep alamiah dalam agama Hindu. Menarik pula berita Cina dari dinasti Tang, yang menguaraikan bahwa Kerajaan Holing atau She-Po dikelilingi oleh 28 kerajaan kecil, dan memiliki 32 pejabat tinggi kerajaan. Menurut para ahli, angka 28 dan 32 merupakan angka simbolis. Angka 28 disesuaikan dengan tujuh daratan yang melingkari Jambudwipa di setiap penjuru mata angin (7x4=28), dan angka 32 disesuaikan dengan 32 dewa bawahan dewa Indra (32 dewa+ 1 dewa Indra= 33 dewa di puncak Meru) (Suryo, dkk. 1995/1996: 42). 

Formula angka-angka tidaklah sama dari berbagai kerajaan. Namun demikian, pada dasarnya konsep dewa-dewa penjaga Meru atau dewa-dewa lokapala (penjaga mata angin) memiliki formula 4 atau kelipatan 4+1, yang acapkali digunakan sebagai upaya penyelarasan antara kerajaan dan konsep kosmologi Hindu-Budha. Dalam penciptaan struktur perwilayahan suatu kerajaan, kelipatan angka empat merupakan syarat utama. Konsep ”empat” tersebut masih dijumpai hingga saat ini pada konsep Jawa tentang ”mancapat” (Ossenbruggen, 1975: 5).

Struktur sosial yang berkembang di masyarakat Jawa kuno, selain dipengaruhi oleh unsur-unsur lokal, juga terpisahkan dari pengaruh India. Bentuk pranata kerajaan seperti tersebut di atas merupakan salah satu unsur kebudayaan India yang masuk dalam budaya masyarakat Jawa kuno. Namun demikian, pranata kerajaan yang mendapat pengaruh India tersebut hanya merupakan sampul dari bentuk pranata sosial yang sudah ada. Artinya, sebelum ada pengaruh India tentunya telah ada tatanan kelompok masyarakat yang berkuasa dan yang dikuasai (Suryo, dkk. 1995/1996: 210).

Daftar Rujukan:
Cahyono, M, D. 2006. Dinamika Sejarah dan Sosial Malang. Malang: PLaCID’S AVERROES & Komunitas Indonesia Untuk Demokrasi (KID)
Heine-Geldern, R. Von. 1982. Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Delia Noer (penerjemah). Jakarta: CV. Rajawali
Ossenbruggen, F. D. E. 1975.  Asal Usul Konsep Jawa Tentang Mancapat, dalam Hubungannya dengan Sistem-Sistem Klasifikasi Primitif. Winarsih Arifin (penerjemah). Jakarta: Bhratara
Soepratignyo & Isman, K. 1988. Penelitian Tentang Geohistori Prasasti Turyyan Di Kabupaten Malang. Malang: Laboratorium Sejarah IKIP Malang
Suryo, D, dkk. 1995/1996. Dinamika Sosial Budaya Masyarakat di Pulau Jawa Abad VIII-XX. Yogyakarta: Kerjasama Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Tingkat I Jawa Timur dengan Fakultas Sastra UGM

Geopolitik

Geopolitik terdiri dari dua kata, yaitu ”geo” yang berarti ”bumi” dan ”politik” yang berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan kekuasaan. Menurut Ratzel (1897) dalam Al Hakim (2001: 7-8), geopolitik adalah politik yang menganggap negara sebagai organisme; yang membutuhkan ruang demi kelangsungan hidupnya. Geopolitik dalam studi hubungan internasional merupakan suatu kajian yang melihat masalah atau hubungan internasional dari sudut pandang ruang atau geosentrik. Konteks teritorial dimana hubungan itu terjadi bervariasi dalam fungsi wilayah dalam interaksi, lingkup wilayah, dan hirarki aktor: dari nasional, internasional, sampai benua-kawasan, juga provinsi atau lokal.

Pengertian geopolitik dapat lebih disederhanakan lagi. Geopolitik adalah suatu studi yang mengkaji masalah-masalah geografi, sejarah dan ilmu sosial, dengan merujuk kepada percaturan politik Internasional. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi, yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut. Geopolitik mempunyai empat unsur pembangun, yaitu (1) keadaan geografis, (2) politik dan strategi, (3) hubungan timbal balik antara geografi dan politik, serta (4) unsur kebijaksanaan (Hidayat, 1983: 8).

Daftar Rujukan:
Al Hakim, S. 2001. Geopolitik: Konsep, Aplikasi dan Refleksi Kenegaraan. Malang: Universitas Negeri Malang
Hidayat, I. M. 1983. Geopolitik, Teori dan Strategi Politik dalam Hubungannya dengan Manusia, Ruang dan Sumber Daya AlamSurabaya: Usaha Nasional

Kekuasaan dan Otoritas

Menurut Weber (1977) dalam Lawang (1985: 90), Kekuasaan adalah kesempatan yang ada pada seseorang atau sejumlah orang untuk melaksanakan kemauannya sendiri dalam suatu tindakan sosial, meskipun mendapat tantangan dari orang lain yang terlibat dalam tindakan itu.

 Bentuk kekuasaan tradisional yang penting artinya adalah otoritas pemimpin agama dan raja. Adapun otoritas adalah kekuasaan yang sah atau kekuasaan yang diabsahkan dan karena sahnya, maka orang lain harus mengikutinya tanpa perlawanan (Lawang, 1985: 88).

Rujukan:
Lawang, M.Z. 1985. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Penerbit Karunika Jakarta

Jumat, 03 Februari 2012

Gunung Bromo

Gunung Bromo dan Gunung Batok

Pantai Balekambang

di sore hari

KALA

Kepala Kala Candi Jawi
Terdapat beberapa pengertian tentang kala, baik dalam bentuk arti kata maupun dari segi mitologi.
1.      Kala berarti waktu, usia, era, hitam, atau “semua yang bersifat sebagai penghancur”; “wajah dari Dewa kematian” (Liebert, 1976)
2.      Dalam Kamus Bahasa Jawa Kuna Indonesia (2004), Kala berarti jahat, raksasa (demon), waktu, dewa maut dan penghancuran.
3.      Hal serupa juga terdapat pada pengertian kala pada Kamus Kawi – Indonesia (1988) yang berarti zaman, Batara Kala, raksasa, bahaya, peraturan buruk dan waktu.

Inkuiri terbimbing

Metode Inkuiri Terbimbing

Adapun beberapa pendapat mengenai istilah "inkuiri terbimbing".
  1. Keller (1992), inkuiri terbimbing adalah metode pembelajaran yang menekankan pada siswa yang memecahkan masalah dari guru atau buku teks melalui cara-cara ilmiah, melalui pustaka dan melalui pertanyaan dan guru membimbing siswa dalam menentukan proses pemecahan dan identifikasi solusi sementara dari masalah tersebut. disini Keller menyatakan bahwa metode inkuiri terbimbing adalah metode belajar yang menekankan pada proses menjawab masalah, bukan pada membuat masalah.
  2. Jerome Bruner, dalam Tanto (2008), inkuiri terbimbing adalah suatu metode yang menekankan pada proses, suatu cara dalam mendeteksi permasalahan bukan hanya suatu produk atau item pengetahuan tertentu. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum melalui latihan pemecahan masalah dan praktek membentuk dan menguji hipotesis. Belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan sehingga seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan.
  3. Nurhadi dan Senduk (2003), inkuiri terbimbing merupakan proses yang bergerak dari langkah observasi sampai langkah pemahaman. inkuiri terbimbing dimulai dengan observasi yang menjadi dasar pemunculan berbagai pertanyaan yang diajukan siswa.
Daftar Rujukan:
Keller, 1992. Journal of Motivation Disossiation and Analysis Student in Class/Development and Use of The ARCS Model of Instructional Design Journal of Instructional Development (Line), http://www.scrb.journal/motivation.go.id
Nurhadi dan Senduk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Malang: UM Press
Tanto, T. 2008. Efektivitas Penerapan Metode Inkuiri pada Pembelajaran Ekonomi untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas X SMA Negeri I Garum-Blitar. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FE UM