Kerajaan adalah sistem pemerintahan yang
dikepalai oleh raja (Cahyono, 2006: 11). Selain menunjuk arti kepada sistem
pemerintahan yang berbentuk monarkhi, kata ”kerajaan” atau ”karajyan” acapkali dipakai untuk
menyebutkan tempat kediaman raja, yang dalam bahasa sanskreta dinamakan ”rajyā”.
Soebantardjo (1960) dalam Soepratignyo (1988: 9),
mengemukakan syarat mutlak bagi tumbuhnya suatu negara atau kerajaan, yaitu
adanya konsentrasi penduduk yang berjumlah besar. Hal ini hanya dapat
terlaksana jika dalam suatu daerah terdapat cukup bahan makanan yang menjamin
kelangsungan hidup penduduknya. Oleh karena itu, daerah tersebut haruslah merupakan
daerah yang subur. Tanpa kesuburan daerah, maka bahan makan menjadi kurang, sehingga
tidak terdapat konsentrasi penduduk di situ. Alhasil tidak akan terbentuk suatu
nagara atau kerajaan.
Masyarakat Hindu-Budha memiliki kepercayaan
tentang kesejajaran antara makro dan mikrokosmos, antara jagat raya dan dunia
manusia. Kemanusiaan senantiasa berada di bawah pengaruh tenaga-tenaga yang
bersumber pada penjuru mata angin, bintang-bintang dan planet-planet.
Tenaga-tenaga tersebut mungkin menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan. Atau
dapat juga membuat kehancuran, bergantung pada dapat atau tidaknya masyarakat
bersangkutan, utamanya pihak kerajaan, untuk menyelaraskan kehidupan dan
kegiatan mereka dengan jagad raya. Keselarasan antara kerajaan dan jagad raya
dapat dicapai dengan menyusun kerajaan itu sebagai gambaran dari jagad raya,
tepatnya sebagai sebuah jagad raya dalam bentuk kecil (Heine-Geldern, 1982: 2).
Kepercayaan Brahma (Brahmanisme) melihat bahwa
jagad ini terdiri dari Jambudwipa. Sebuah benua yang berbentuk lingkaran dan
terletak di pusat, di kelilingi oleh tujuh buah samudera berbentuk cincin dan
tujuh buah benua lain berbentuk cincin juga. Di tengah-tengah Jambudwipa
berdirilah Gunung Meru, yaitu gunung kosmis yang diedari matahari, bulan dan
bintang-bintang. Pada puncaknya terletak kota para dewa, yang dikelilingi oleh
tempat-tempat tinggal dari delapan lokapala atau dewa-dewa penjaga jagad.
Konsep ini memiliki kesamaan pula dengan kepercayaan kosmologi Budhisme. Oleh
sebab itu, gambaran konsepsi tersebut mempunyai pengertian simbolis yang sama
bagi pengikut-pengikut setia dari kedua macam kepercayaan itu (Heine-Geldern,
1982: 4-6).
Upaya penyelarasan konsep tentang jagad raya pada
masyarakat Hindu-Budha menghadirkan wujud dalam bentuk nyata. Dalam hal ini, arsitektur
kerajaan merupakan contoh tentang penyelarasan antara dunia makro dengan
mikrokosmos. Ibukota kerajaan merupakan lambang Meru. Jadi, selain sebagai
pusat politis dan kebudayaan, ibukota kerajaan juga sebagai pusat magis dari
kerajaan.
Konsep kosmologi Hindu tampaknya juga melandasi
struktur kerajaan-kerajaan di Jawa kuno. Salah satu diantaranya adalah pada
Kerajaan Mataram Kuno. Bukti pada Prasasti Canggal (732 M) menguraikan bahwa
Sanjaya selama memerintah di dunia berikat pinggangkan samudera dan berdada
gunung-gunung, ia telah menaklukkan raja tetangga yang mengelilinginya,
sehingga rakyatnya merasa aman. Keterangan tentang ”berikat pinggang samudera”
dan ”berdada gunung-gunung” mengingatkan tentang konsep alamiah dalam agama
Hindu. Menarik pula berita Cina dari dinasti Tang, yang menguaraikan bahwa
Kerajaan Holing atau She-Po dikelilingi oleh 28 kerajaan kecil, dan memiliki 32
pejabat tinggi kerajaan. Menurut para ahli, angka 28 dan 32 merupakan angka
simbolis. Angka 28 disesuaikan dengan tujuh daratan yang melingkari Jambudwipa di setiap penjuru mata angin
(7x4=28), dan angka 32 disesuaikan dengan 32 dewa bawahan dewa Indra (32 dewa+
1 dewa Indra= 33 dewa di puncak Meru) (Suryo, dkk. 1995/1996: 42).
Formula angka-angka tidaklah sama dari berbagai
kerajaan. Namun demikian, pada dasarnya konsep dewa-dewa penjaga Meru atau
dewa-dewa lokapala (penjaga mata
angin) memiliki formula 4 atau kelipatan 4+1, yang acapkali digunakan sebagai
upaya penyelarasan antara kerajaan dan konsep kosmologi Hindu-Budha. Dalam penciptaan struktur perwilayahan suatu
kerajaan, kelipatan angka empat merupakan syarat utama. Konsep ”empat” tersebut
masih dijumpai hingga saat ini pada konsep Jawa tentang ”mancapat” (Ossenbruggen, 1975: 5).
Struktur sosial yang berkembang di masyarakat Jawa
kuno, selain dipengaruhi oleh unsur-unsur lokal, juga terpisahkan dari pengaruh
India. Bentuk pranata kerajaan seperti tersebut di atas merupakan salah satu
unsur kebudayaan India yang masuk dalam budaya masyarakat Jawa kuno. Namun
demikian, pranata kerajaan yang mendapat pengaruh India tersebut hanya
merupakan sampul dari bentuk pranata sosial yang sudah ada. Artinya, sebelum
ada pengaruh India tentunya telah ada tatanan kelompok masyarakat yang berkuasa
dan yang dikuasai (Suryo, dkk. 1995/1996: 210).
Daftar
Rujukan:
Cahyono, M, D. 2006.
Dinamika Sejarah dan Sosial Malang.
Malang: PLaCID’S AVERROES & Komunitas Indonesia Untuk Demokrasi (KID)
Heine-Geldern, R. Von. 1982. Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Delia
Noer (penerjemah). Jakarta: CV. Rajawali
Ossenbruggen, F. D. E. 1975. Asal Usul Konsep Jawa Tentang
Mancapat, dalam Hubungannya dengan Sistem-Sistem Klasifikasi Primitif. Winarsih
Arifin (penerjemah). Jakarta: Bhratara
Soepratignyo & Isman, K. 1988. Penelitian Tentang Geohistori Prasasti Turyyan Di Kabupaten Malang.
Malang: Laboratorium Sejarah IKIP Malang
Suryo, D, dkk. 1995/1996. Dinamika Sosial Budaya Masyarakat di Pulau Jawa Abad VIII-XX. Yogyakarta: Kerjasama Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Tingkat I Jawa Timur dengan Fakultas Sastra UGM