Istilah Candi menurut Soekmono (1973) berasal
dari nama Dewi Durga sebagai dewi maut yaitu Candika. Memang dalam beberapa literature Candi dihubungkan dengan
kematian seorang tokoh dalam sejarah. Candi dipakai sebagai tempat pendharmaan
seorang Raja dan sekaligus kuil pemujaan. Di sini seorang raja bila telah
mangkat (wafat) maka mayatnya dibakar dan abu jenazahnya akan dilarung. 12
tahun setelah kemangkatannya, akan dilakukan upacara Cradha, yaitu upacara terakhir dari serangkaian upacara kematian.
Hal ini dilakukan sebagai sarana penyempurnaan roh agar dapat bersatu kembali
dengan Dewa yang menitis kepada sang Raja.
Setelah itu maka didirikanlah
bangunan suci untuk menyimpan pripih. Pripih ditaruh dalam sebuah peti batu,
dan peti itu ditanam di bawah bangunan suci tersebut. Selain itu di atas
sumuran peti batu didirikan sebuah arca dewa, perwujudan dari raja yang di
dharmakan. Dan patung inilah yang dijadikan pusat puja saji. Biasanya arca ini
diganti dalam wujud lain pada Candi Hindu Caiva, yaitu berupa Lingga dan Yoni.
Pada
acara puja saji, Peripih sebagai lambang jasad jasmaniah dalam perigi/peti batu
dinaikkan, sedang jasad rohaniah dari rongga di dalam atap Candi diturunkan.
Kedua-duanya akhirnya dipertemukan lagi dalam arca perwujudan. Dengan jalan ini
maka arca tersebut bukanlah batu biasa, namun telah menjadi arca perwujudan
sang raja sebagai dewa perwujudannya. Dari konsep ini jelas terlihat konsep
kepercayaan Dewa-Raja yang bersumber dari konsep pemujaan roh nenek moyang.
Candi
juga sebagai replika dari gunung Mahameru tempat bersemayam para Dewa.
Selayaknya Gunung Mahameru maka pembangunan bangunan Candi di upayakan mewakili
Meru yang suci tempat para Dewa, dan memiliki makna Religius-Magic yang besar.
Oleh karena itu, maka Candi dihiasi oleh pola-pola hiasan tertentu untuk
melambangkan makna Religius-Magic tersebut.
Rujukan:
Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia
2. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Tidak ada komentar:
Posting Komentar